Ketua Majelis Pembina IBI Kaltim Hj E Widyani Sjaraddin bersama Ketua Umum PB IBI dr Emi Nurjasmi, M.Kes (ketiga dari kanan).
Catatan Rizal Effendi
SAYA pernah membaca berita soal bidan dari Kampung Muara Beloan, Kecamatan Muara Pahu, Kutai Barat (Kubar). Kejadiannya pertengahan tahun lalu. Sejumlah warga kampung berpenduduk 757 jiwa itu mengancam akan “menyerbu” Kantor Dinas Kesehatan (Diskes) Kubar lantaran bidan yang bertugas di Puskesmas Pembantu (Pustu) di kampung itu akan dipindahkan ke kampung lain.
“Sudah kurang tenaga perawat, malah tenaga bidan yang ada mau dipindahkan lagi. Kok Diskes tidak ada perhatian dengan warga di sini,” kata Rudi, kepala kampung Muara Beloan mengungkapkan kekecewaannya.
Kepala Diskes Kubar Rita Sinaga menjelaskan, tenaga bidan di Pustu Muara Beloan itu bukan sengaja dipindahkan tanpa sebab, melainkan karena pertimbangan kondisi kesehatan yang bersangkutan sangat tidak memungkinkan.
“Tenaga bidan itu sering sakit-sakitan. Juga hamil kembar (gemeli) lagi. Karena hamil dengan risiko tinggi sehingga harus kita pindahkan. Tolong masyarakat bersabar, kita tengah menyiapkan tenaga penggantinya secepat mungkin,” begitu kata Rita.
Saya belum pernah ke Muara Beloan, walau pernah singgah di Muara Pahu-nya. Tapi saya yakin bidan penggantinya sudah datang. Memang persoalan bidan sebagai tenaga kesehatan yang dibutuhkan ibu hamil berkembang terus, meski Pemerintah terus berupaya menangani masalah ini secara serius dari tahun ke tahun.
Soal bidan itu berkutat mulai jumlahnya yang kurang, penyebarannya yang tidak merata, kualitasnya yang belum memadai sampai soal kesejahteraannya yang belum menjanjikan. Ditambah lagi soal regulasi, yang terkadang belum menguntungkan profesi bidan.
Di Kaltim soal pemerataan populasi bidan sangat dirasakan. Itu diakui oleh Hj Encik Widyani Sjaraddin, SKM, MQIH, ketua Majelis Pembina Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Kaltim. “Berapa kebutuhan bidan di daerah ini masih dihitung oleh tim Dinkes provinsi, tapi penyebarannya memang tidak merata. Hanya numpuk di kota-kota besar seperti Samarinda, Balikpapan, Tenggarong, dan Bontang,” kata Encik Widyani, yang sebelumnya menjabat ketua IBI Kaltim selama 3 periode.
Jumlah bidan di Kaltim tercatat sekitar 4.692 orang. Jumlah ini setiap tahun terus bertambah menyusul diwisudanya bidan-bidan baru dari akademi bidan dan sekolah tinggi kesehatan jurusan kebidanan, yang ada di Samarinda dan Balikpapan.
Encik juga memuji perhatian Pemerintah Provinsi terhadap kemajuan kualitas bidan di daerah ini cukup baik di antaranya melalui program pemberian beasiswa. Bidan yang berijazah D1 mendapat beasiswa untuk melanjutkan ke jenjang D2 dan D3. Bahkan yang D3 juga mendapat beasiswa agar menjadi sarjana.
Hari Jumat besok, 24 Juni 2022 adalah Hari Bidan Nasional. Tanggal ini ditetapkan Pemerintah karena bertepatan dengan hari lahirnya IBI. Organisasi ini dicetuskan dalam konferensi bidan pertama di Jakarta, 24 Juni 1951 atau 71 tahun silam. Selain Hari Bidan Nasional, ada juga Hari Bidan Internasional. Tapi peringatannya yang dilaksanakan oleh International Confederation of Midwives (ICM) sudah lewat, 5 Mei lalu.
Tema peringatan Hari Bidan Nasional tahun ini sangat menyentuh. “Bidan Siaga Setiap Saat, Melayani dengan Sepenuh Hati.” Pernyataan yang tulus dari pengabdian seorang bidan terutama dalam menangani ibu yang akan melahirkan.
Bidan siaga setiap saat semakin memungkinkan karena faktor teknologi komunikasi semakin canggih dan mudah. Melalui HP, bidan mudah dipanggil seketika. Selain itu, bidannya semakin banyak. Akan tetapi di lapangan, masih sering kita temukan kasus-kasus melahirkan yang tidak didampingi bidan. Bisa karena faktor jarak kediaman, ada faktor motif tertentu atau karena ketidaktahuan ibu hamil akan tanda-tanda kelahiran.
Akhir tahun lalu misalnya di Balikpapan, Lisnawati terpaksa melahirkan di dalam mobil ketika Puskesmas Kariangau meminta suaminya, Saniatun membawa sang istri ke RSKD. Kejadian itu tengah malam di saat dokter jaga tidak ada. Syukurlah proses kelahiran alami itu berjalan lancar. Ibu dan anak selamat.
Perlu kita ketahui, tugas seorang bidan sebenarnya cukup banyak. Tidak hanya saat hamil, melahirkan dan masa nifas saja. Setidaknya ada 5 tugas bidan. Mulai dari memberikan pelayanan kesehatan pada ibu, pada bayi dan anak, lalu memberi penyuluhan soal kesehatan organ reproduksi pada perempuan dan keluarga, melaksanakan tugas berdasarkan pelimpahan wewenang hingga melaksanakan tugas dalam keadaan terbatas tertentu.
Menurut UU No 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan, bidan adalah seorang perempuan yang telah menyelesaikan program pendidikan kebidanan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang diakui secara sah oleh Pemerintah dan telah memenuhi persyaratan untuk melakukan praktik kebidanan.
Jadi di Indonesia, bidan merupakan profesi eksklusif yang hanya boleh disandang oleh perempuan saja. Tapi di beberapa negara seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Australia, tenaga bidan ada juga dari kaum pria. Seperti juga dokter kandungan, yang banyak dilakoni dokter pria.
Profesi bidan mulai dulu sudah dikenal dan memang sangat dibutuhkan masyarakat. Cuma karena dulu belum ada bidan profesional yang berpendidikan dari bangku sekolah, maka yang dikenal adalah bidan kampung atau dukun bayi. Di beberapa pelosok terpencil masih ada beroperasi bidan kampung termasuk di Kaltim. Umumnya sudah berusia lanjut. Memang tidak berpendidikan formal, modalnya hanya pengalaman.
Sejalan dengan perkembangan zaman, dan untuk menekan angka kematian kelahiran, Pemerintah berupaya meningkatkan jumlah bidan berpendidikan. Bahkan dalam UU Kebidanan, kualifikasi bidan lebih ditingkatkan lagi. “Paling lambat tahun 2026, bidan-bidan praktik mandiri harus memiliki sertifikasi pendidikan profesi, kalau tidak praktiknya akan ditutup,” kata Ketua I Pengurus Pusat IBI, Nunik Endang Sunarsih.
Saya pernah mencatat data angka kematian ibu (AKI) saat melahirkan masih tergolong tinggi di Indonesia. Sekitar 228 orang per 100.000 kelahiran hidup. Sementara sasaran Millennium Development Goals (MDGs), ditetapkan 103 per 100.000. Padahal ada sekitar 4,8 juta kelahiran baru setiap tahunnya di Indonesia.
Penyebab kematian ibu melahirkan di Indonesia di antaranya masalah pendarahan yang mencapai 42%, ekslampsia (kejang selama kehamilan atau sesaat setelah melahirkan) 13%, komplikasi abortus 11%, infeksi 10% dan persalinan lama 9%.
Untuk menurunkan AKI, Pemerintah berusaha melakukan perbaikan fasilitas kesehatan, pengurangan dalam jumlah persalinan di rumah dan persalinan ditolong oleh penolong yang tidak terlatih, perluasan program KB termasuk juga pengembangan keterampilan kebidanan.
Seseorang yang menjalankan profesi kebidanan minimal mengantongi ijazah Diploma 3 (D3) Kebidanan. Jika dia ingin bekerja secara mandiri di fasilitas pelayanan kesehatan maka wajib mempunyai Surat Izin Kerja Bidan (SKIB). Jika ingin menyelenggarakan praktik mandiri, maka dia harus mengantongi Surat Izin Praktik Bidan (SIPB). SKIB dan SIPB dikeluarkan oleh kantor dinas kesehatan setempat.
Ketua IBI Pusat dr Emi Nurjasmi, M.Kes mengakui tugas dan tantangan 300 ribu bidan yang ada di Indonesia pada saat ini adalah menurunkan angka kematian ibu dan balita dengan target 183 per 100 ribu kelahiran hidup. Lebih-lebih pada masa pandemi lalu.
Karena itu, dia minta seluruh bidan yang bertugas di mana saja untuk terus meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan, sehingga penanganan ibu dan anak yang melahirkan bisa dilakukan semaksimal mungkin.
Banyak cerita soal profesi bidan. Ada yang berkaitan dengan tugasnya, ada juga yang urusan pribadi. Enam tahun lalu ada bidan cantik di RSKD yang menghilang sepulang dinas malam. Yang melaporkan suaminya sendiri. Tapi belakangan diketahui dia kabur karena tidak tahan atas perlakuan suaminya, yang diduga melakukan KDRT.
Malam tadi saya mencoba menghubungi seorang bidan mandiri Hj Susiawati, S.ST, yang beralamat di Batu Ampar, Balikpapan Utara. Saya mendapatkan alamatnya di Google. Ketika saya perkenalkan nama saya Rizal Effendi, dia menjawabnya agak ketus. “Dari mana ya dapat nomor HP saya,” katanya langsung menutup HP-nya. Padahal saya mau bertanya tentang suka-dukanya menjalani profesi bidan mandiri. Saya jadi bingung, kalau ada bidan seperti itu, bagaimana bisa melayani sepenuh hati. (*)