Proyeksi tren konsumsi pelet kayu dunia hingga 2020 dan akan terus meningkat seiring dengan kepedulian pada lingkungan. (Sumber: Goh et al., 2013).
Catatan : Syukri Muhammad Nur
Visiting Researcher di Pusat Penelitian Biomassa (DBFZ), Leipzig Jerman
(Flawil, Swiss, 02/08/2022). Hampir tiga bulan ini penulis berada di sentra peneliti dan pemikir tentang energi terbarukan berbasis biomassa di Leipzig, Jerman. Lalu, penulis mendapat telepon dari Ketua Asosiasi Pengusaha Cangkang Sawit (APCASI), H. Dikki Akhmar dan bertanya, “Kenapa Indonesia perlu bangun pusat riset biomassa?” Pertanyaan terus berlanjut, “Dimana lokasi ideal di Indonesia jika memang perlu dibangun pusat riset biomassa tersebut?
Dua pertanyaan dari Ketua APCASI ini sangat menggugah semangat untuk mencari jawabannya. Boleh jadi karena Beliau punya tiga alasan. Pertama, bekal pengalaman satu dekade ekspor cangkang sawit ke Jepang, Korea Selatan dan Polandia memicu pemikiran kenapa Indonesia melakukan aktivitas ekonomi berbasis pada hanya sumberdaya alam tanpa terolah? Tentu nilai ekonomi akan bertambah jika Indonesia mampu mengekspor produk yang terolah.
Kedua, Indonesia mampu menyediakan energi untuk negara maju namun masih upaya keras memberi pasokan kepada desa-desa tak mampu menerima energi (listrik) secara berkualitas. Bayangkan masih ada 2519 desa tak berlistrik sama sekali dan 12500 desa dengan Ketiga, dulu cangkang sawit dianggap limbah tak bernilai namun sekarang diperebutkan pengusaha karena sudah mampu menghasilkan (uang). Lalu, bagaimana dengan limbah dari industri beras, kelapa sawit, kelapa, gula tebu, sagu, kakao, apalagi kehutanan yang bertebaran di Indonesia? Sudah tentu juga potensi yang luar biasa.
Kendati kegelisahan Ketua APCASI ini telah menjadi salah satu satu jawaban atas pertanyaan beliau sendiri, namun penulis harus mampu menjelaskan alasan berdasarkan data dan fakta. Penulis sebagai asisten beliau untuk berpikir dalam bidang bioenergi, mengajukan tiga pokok pikiran yaitu potensi, kebutuhan energi nasional, dan potensi pasar. Pada sisi lain, kami telah sepakat bahwa sumberdaya manusia (SDM) Indonesia cukup banyak tersedia dan mampu mewujudkannya. Namun tersebar di kampus, lembaga penelitian bahkan di perusahaan. Jaringan kerjasama untuk alih pengetahuan dan teknologi dari negara-negara maju juga telah terbuka.
Potensi Biomassa
Potensi biomassa Nusantara ini berbasis pada limbah agroindustri dari tanaman kelapa sawit, kelapa, sagu, tebu, bahkan mampu membudidayakan tanaman energi dari subsektor kehutanan. Luasan lahan kelapa sawit yang mencapai 16,4 juta ha, kelapa (3,4 juta ha), sagu ( 169 ribu ha), dan tebu ( 411 ribu ha) merupakan contoh modal tanaman yang sangat berpotensi sebagai bahan baku biomassa baik yang berasal dari lahan budidayanya maupun dari limbah industri pengolahannya. Paradigma yang digunakan adalah limbah biomassa. Sebuah cara berpikir dalam pendayagunaan lahan dan materi supaya tidak terjadi pertentangan antara kepentingan pasokan pangan dengan pasokan energi.
Jika penulis mengambil Provinsi Kalimantan Timur sebagai contoh lokasi riset, wilayah ini telah berkontribusi hampir 10% dari total sawit Indonesia dengan produk CPO mencapai empat juta ton/tahun. Namun demikian limbahnya juga melimpah hingga mencapai empat juta ton/tahun untuk tandan kosong, satu juta ton untuk cangkang sawit. Lebih besar lagi limbah cairnya. Berbekal teknologi konversi yang tepat maka ragam produk bioenergi dapat dihasilkan dari biomassa tersebut. Contohnya seperti biogas, pupuk, material bangunan, pellet kayu hingga biocoal, dan tentunya listrik untuk memenuhi kebutuhan energi di daerah sendiri. Lebih spesifik lagi pada biocoal, produk bioenergi ini setara bahkan melebihi kualitas batubara karena mampu mencapai nilai bakar hingga 6000 kCal/kg (lihat Gambar).
Potensi Pasar
Pasar produk bioenergi seperti pellet kayu dan biocoal atau pelet biocoal sangat dibutuhkan oleh Jepang, Korea Selatan, Taiwan yang telah akrab dengan penggunaan cangkang sawit. Negara-negara ini telah berkomitmen untuk menggeser posisi energi fosil dengan beralih ke energi terbarukan berbasis biomassa. Untuk perdagangan pelet kayu dunia, produsen memang masih dipegang oleh Kanada, USA, dan Jerman sehingga sumber pasokan dunia berasal dari sana. Untuk Asia Tenggara, produsen utama pelet kayu berasal dari Vietnam dengan tujuan utamanya adalah Korea Selatan. Kekuatan produksi Vietnam tak akan bertahan lama andaikan saja Indonesia melihat peluang ini. Kelemahan utama anggota Asean ini adalah luas lahan yang terbatas sehingga akan mengalami kesulitan dalam menambah pasokan bahan baku. Hasil kajian Goh (2013) telah membuktikan bahwa dunia mengalami tren peningkatan kebutuhan pelet kayu dari tahun ke tahun seiring dengan kepedulian pada upaya pelestarian lingkungan terutama untuk mengurangi dampak pemanasan global (Lihat Gambar).
Berdasarkan pemikiran ini, maka Indonesia perlu memiliki pusat penelitian biomassa seperti di Jerman. Opini dan pengalaman penulis selama magang riset (disebut Vising Researcher) telah memperkuat pernyataan tersebut. Paradigma sistem bioenergi yang penulis bangun bersama teman-teman di Universitas Darma Persada mampu bersanding dengan paradigma SMART Bioenergy System dari DBFZ di Leipzig. Kesamaan paradigma ini mendorong kita untuk berkolaborasi dengan mereka. Perbedaan kemampuan penguasaan teknologi menjadi kesamaan berpikir kita untuk saling berbagi antara Jerman dengan Indonesia. Jerman mendapatkan pangsa pasar teknologinya dan Indonesia berkesempatan mendapatkan pangsa pasar produk bioenerginya.
Lalu dimana lokasi yang tepat? Jawaban singkatnya adalah Kalimantan Timur. Penulis menyampaikan lagi tiga alasan kepada H. Dikki Akhmar, yang juga putra kedua Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kaltim era 80-an ini. Pertama, Kaltim sudah punya 95 pabrik kelapa sawit dan jutaan hektar hutan tanaman industri yang dapat digunakan untuk mendukung realisasi industri bioenergi ini. Kedua, Kaltim mendapat amanah negara sebagai lokasi baru ibukota negara Indonesia dan memiliki program Energi Hijau untuk pasokan energinya. Jadi, tepatlah posisi biomassa menjadi bioenergi sebagai bagian dari penyedia energi tersebut. Ketiga, posisi geografis dan infrastruktur Kaltim sangat strategis untuk menjadi eksportir berkelas dunia untuk pangsa pasar Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Cina, bahkan Eropa.
Penulis membuka dialog untuk membangun Kaltim sebagai sentra bioenergi untuk pasokan energi ibukota baru dan dunia. Salam hormat dari kota Flawil, Swiss.
Pustaka:
Goh, C. S., Junginger, M., Cocchi, M., Marchal, D., Thrän, D., Hennig, C., … & Deutmeyer, M. (2013). Wood pellet market and trade: a global perspective. Biofuels, Bioproducts and Biorefining, 7(1), 24-42.
Thrän, D., Peetz, D., Schaubach, K., Backéus, S., Benedetti, L., & Bruce, L. (2017). Global wood pellet industry and trade study 2017. IEA Bioenergy Task 40.