Beranda Nasional Keberlanjutan untuk anda, saya atau kita? (Sustainable for you, me or us?)

Keberlanjutan untuk anda, saya atau kita? (Sustainable for you, me or us?)

13814
0

Syukri M Nur
Visiting Researcher di DBFZ, Leipzig-Jerman

Keberlanjutan itu untuk siapa ? Sebuah pertanyaan yang kerap kali penulis sampaikan untuk mendapatkan jawaban yang memuaskan. Pertanyaan itu diajukan kepada para ahli keberlanjutan (sustainability) pada kesempatan webinar ataupun diskusi nasional apalagi internasional? Kepuasan ini harus terpenuhi karena sangat berarti bagi penulis yang menggeluti profesi sebagai peneliti.

Saya punya lima alasan untuk mengajukannya. Fakta pertama, kalo saja definisi keberlanjutan hanya pada jaminan pemenuhan generasi sekarang dan tak melupakan jaminan pada generasi selanjutnya maka kami (Indonesia) sudah melakukannya. Jadi tak perlu ada proses pengajaran dan sosialisasi konsep tersebut dalam skala apapun. berskala apapun untuk itu. Kearifan lokal yang dibangun oleh budaya nenek moyang kami telah mengajarkan dengan arif tentang cara bergaul dengan alam, beretika pada sesama umat Tuhan, dan memperlakukan mahluk hidup lainnya untuk tak saling mengganggu.

Fakta kedua, fakta generasi manusia sekarang ini terbagi dalam pakta pertahanan, ego ekonomi pada level negara, regional dan internasional. Bahkan dikotomi negara maju dan berkembang belum mampu dihapuskan. Hanya bergeser dan terkombinasi istilahnya menjadi emerging countries karena menggunakan paradigma pasar. Panggung cerita yang sedang berlangsung adalah pertempuran diberbagai belahan dunia seperti Syria, Lebanon, Ukraina, termasuk tak berakhirnya cerita pilu di Palestina.

Fakta ketiga, lebarnya kesenjangan kecerdasan antara negara maju dan berkembang bahkan negara terbelakang masih sangat lebar. Disparitas kesenjangan ini pun hanya menjadi kepedulian sedikit negara maju untuk saling membantu. Lebih banyak negara maju lainnya menjadikannya sebagai obyek eksploitasi untuk sumberdaya alamnya termasuk sumberdaya manusianya.

Fakta keempat, keterbatasan modal, sumberdaya manusia, dan teknologi bagi suatu negara untuk mengelola sumberdaya alamnya. Ketiga kelemahan ini telah diketahui dalam fakta kedua sehingga tak ada posisi tawar lagi bagi negara berkembang apalagi yang terbelakang. Semua sumberdaya mengalir ke negara maju dalam nilai ekonomi yang rendah, dan kembali dalam bentuk produk bernilai ekonomi tinggi. Kejadian fakta keempat ini dan dampak lanjutannya sama saja mempertahankan keberlanjutan dari kesenjangan tersebut.

Fakta kelima, penetapan 17 target utama pencapaian pembangunan berkelanjutan yang ditetapkan oleh PBB tampaknya hanya menjadi indikator yang terindeks. Rentetan istilah muncul seperti Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Kebahagiaan, dan Indeks Kerusakan Lingkungan menjadikan negara negara belum maju dan sedang berkembang berada pada posisi terendah dan perlu menerima nasihat kenegaraan lagi. Masih untung kalo diberi nasihat. Terparah adalah bantuan dengan bayaran mahal berupa campur tangan dalam kebijakan negara lain. Bagai idiom bukan hanya boneka saja yang digerakkan tetapi negara pun dapat digerakkan sebagai boneka.

Lima fakta yang dijelaskan ini memastikan bahwa diri sendiri bahkan negara kita serasa masih belum mampu mencapai keberlanjutan tersebut. Apakah ini menjadi alasan untuk hidup pesimis? Berdiam diri dalam seribu bahasa? Bahkan menjadi pengikut atau penolak tulisan ini dengan “gaya bully”? Jawabannya, tergantung pada prespektif pembaca untuk memahaminya. Namun demikian, penulis telah berupaya menumpahkan isi hati dan pikiran sendiri. Semoga saja tidak menjadi perdebatan kusir namun membuka dialektika ilmiah sesama anak bangsa. Salam hormat penulis dari Leipzig, Jerman.(*)

Artikulli paraprakWapres Ma’ruf Amin Berikan Penghargaan Untuk KPC
Artikulli tjetërGunung Bayan, Datuk, dan H Asfia