Peserta Lomba dengan nomor SY Q 14 ketika tampil mengikuti lomba Syarhil Quran
Satumejanews.id. SANGATTA – Perundungan kerap kali terjadi pada anak di bawah umur, terutama di lingkungan pendidikan. Karena hal tersebut, salah satu peserta lomba Syarhil Qur’an mengangkat isu yang cukup serius dalam cabang Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) ke-45 tingkat Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) tahun 2025 yang berlangsung di Kabupaten Kutai Timur (Kutim).
Salah satu peserta dengan nomor SY Q 14 membawakan tema yang cukup serius, yakni perundungan di lembaga pendidikan berbasis agama.
Dikutip dari data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) yang menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2024 terdapat 573 kasus perundungan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 206 kasus terjadi di lembaga pendidikan berbasis agama, termasuk 92 kasus di madrasah dan 114 di pondok pesantren.
“Data ini tentu mengkhawatirkan. Lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi tempat menimba ilmu dan memahami ajaran agama justru menjadi lokasi yang tak aman,” ungkap peserta lomba SY Q 14 saat menampilkan topik pada ajang tersebut.

Pada data tersebut, kemungkinan besar belum mencakup seluruh kasus yang terjadi di lenbaga pendidikan berbasis agama. Dalam banyak situasi, perundungan di lingkungan pendidikan kerap tidak terdeteksi atau tidak dilaporkan oleh korban maupun saksi mata yang melihat kejadian tersebut.
Hal ini dapat disebabkan oleh rasa takut, tekanan sosial, kurangnya pemahaman tentang bentuk-bentuk perundungan, atau belum tersedianya sistem pelaporan yang efektif dan ramah kepada korban.
Oleh karena itu, penting bagi seluruh elemen pendidikan untuk meningkatkan kesadaran, membangun budaya saling menghargai, serta memperkuat mekanisme pelindungan terhadap peserta didik.
Dari berbagai bentuk kekerasan yang terjadi, 40 persen merupakan kekerasan seksual, sementara sisanya terdiri dari kekerasan psikis, fisik, dan diskriminatif. Mereka menekankan bahwa perundungan bukan hanya kejahatan sosial, tetapi juga bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Syarahan tersebut memperkuat argumentasi dengan ayat-ayat Al-Qur’an, di antaranya Surah An-Nisa ayat 148 dan Surah Luqman ayat 17.
Dalam penafsirannya, mereka mengangkat pandangan ulama seperti Prof. Dr. Quraish Shihab dan Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili yang menekankan bahwa menyakiti sesama secara fisik maupun verbal merupakan kejahatan yang dibenci oleh Allah SWT (subḥānahu wataʿālā).
“Jika ucapan buruk saja dibenci Allah, apalagi perbuatan menyiksa, menindas, dan merundung. Perundungan harus dihentikan, karena membahayakan masa depan generasi bangsa,” tegasnya.
Mereka juga mendorong kolaborasi seluruh elemen bangsa untuk mengatasi perundungan. Orang tua diminta menanamkan nilai-nilai agama dan kasih sayang sejak dini, sekolah diharapkan lebih serius dalam penanganan dan pencegahan kekerasan, serta pemerintah didorong memperketat regulasi digital untuk mencegah konten kekerasan yang beredar di media sosial.
“Jika kita ingin mewujudkan Indonesia Emas 2045, maka perundungan harus ditindak dengan tegas sejak hari ini,” pungkasnya. (*/sm)