Beranda Opini Catat Namanya : Sami Leo Lantang

Catat Namanya : Sami Leo Lantang

456
0

Sami Leo Lantang

Catatan : Sudarsono Gunawan*)

SAMI Leo Lantang tidak sebugar dulu lagi. Jika berjalan, langkah kakinya terlihat gontai. Bicaranya pun sering terdengar tak begitu jelas.

Saya bertemu lelaki berdarah Manado, yang lahir di Tarakan, Kalimantan Utara, 73 tahun silam ini di acara launching buku kenangan Siwo PWI Jaya, Rabu, 1 Maret 2023, di markas PWI Jaya di Lantai 9 Gedung Bank DKI Jalan Suryapranoto, Jakarta Pusat.

Kebetulan kami duduk bersebelahan.

Ia memang selalu menyempatkan diri hadir setiap Siwo PWI Jaya menggelar acara. Selalu. Bertahun-tahun.Kumpul dan bereuni dengan wartawan olahraga baginya seakan suntikan darah segar. Membuatnya sangat bersemangat.

Bang Sam, begitu ia sering dipanggil, pernah dua periode menjadi Ketua Seksi Wartawan Olahraga ( Siwo) PWI Jaya ( 1980-1985 dan 1985-1991), saat dimana organisasi ini begitu disegani dan dihormati. Warisan terpentingnya adalah menyatukan para wartawan, dengan berbagai latar belakang dan ego tapi tetap dalam semangat kebersamaan.

Dan, membuat Siwo PWI Jaya di masa itu begitu Berjaya.

Semangat ini pula, yang kemudian dijadikan judul buku kenangan Siwo PWI Jaya : Kejayaan dalam kebersamaan.

Sudarsono Gunawan

***
SAM boleh jadi adalah ketua Siwo PWI Jaya, yang paling kharimatik. Ia disegani para senior dan dihormati yuniornya. Hingga kini !

Saat ia merayakan Ultah ke -70, para wartawan olahraga lintas generasi berkumpul dan membuat perayaan khusus untuknya, di Hall Dewan Pers, Kebon Sirih Jakarta. Sebagian yang lain, yang dimotori Erwiyantoro – dulu pernah wartawan Suara Merdeka biro Jakarta—menggelar sebuah pertandingan sepak bola untuk memuliakannya.

“Bang Sam itu Ketua SIWO PWI Jaya, yang lain cuma penggantinya,” ucap Lutfi Sukri, salah satu yunior , ketika memberi testimoninya.

Saya pernah diajak menjadi salah satu pembantunya, untuk jabatan yang tak terlalu penting di periode 1985-1990, kemudian sekali ditunjuk menjadi ketua panitia kecil pemilihan atlet, pelatih dan Pembina terbaik, yang salah satunya menghasilkan Bob Hasan dan Try Sutrisno sebagai pembina terbaik kembar.

Sam Lantang awalnya bekerja di Berita Yudha, koran yang diterbitkan Puspen Hankam. Ia meliput di berbagai tempat termasuk Balai Kota. Ketika Harian Kompas mendirikan Tabloid Bola, pada tahun 1984, Sam diajak untuk bergabung. Ia pensiun di usia 60 tahun, tiga belas tahun silam.

Ia sosok yang rendah hati, dekat dengan yunior, pandai menggerakkan anggota, menyelenggarakan banyak program khusus untuk meningkatkan kecakapan wartawan olahraga dan memiliki hubungan baik dengan induk organisasi olahraga Jakarta maupun nasional. Ia seorang yang selalu gelisah memajukan olahraga Indonesia.

Di masa kepemimpinannya, Siwo Jaya pernah “menegur” KONI Pusat, dengan cara mengirim memorandum ; berulang kali melakukan boikot kepada induk organisasi olahraga manakala menemukan hal yang tak benar ; aktif menyelenggarakan berbagai event, semisal, sarung tinju emas, invitasi bola voli, balap sepeda, basket, sepatu roda, gerak jalan dan sebagainya. Muara dari semua itu adalah dukungan wartawan olahraga terhadap kemajuan olahraga Indonesia.

Tak heran, Siwo di masa itu sangat disegani.

Salah satu bukti lain, dan ini dituturkan sendiri oleh Sam, dalam tulisannya dibuku: Siwo PWI Jaya, Kejayaan dalam kebersamaan, yang dilaunching hari itu.

Diceritakan, suatu hari ia menerima telpon seorang rekan wartawan Zuchri Husein – kini almarhum. Zuchri menyampaikan bahwa Djilis Tahir- — dulu Pemimpin Redaksi Api Pantjasila, harian yang terbit di Jakarta sekitar tahun enam puluhan, juga Ketua PMI dan orang kaya— marah-marah kepadanya.

“Sam, lu dimarahin sama Pak Djilis Tahir, “ ucap Zuchri membuka percakapan.

“Apa salah saya? Kok beliau marah,” Sam menjawab.

Sempat hening.

Zuchri kemudian melanjutkan, “Pak Djilis marah, karena lu bikin kegiatan tidak minta bantuan dari beliau. Lu telepon deh Pak Jilis.”

Sam kemudian menghubungi Djilis , yang tak lain ayah Ismet Tahir — salah seorang tokoh sepak bola nasional — itu, menanyakan langsung sebab musababnya.

Djilis menjawab, “Kamu sombong, bikin kegiatan kok tidak minta bantuan ke saya”.

Sam menjadi lega.

Ia mengira membuat kesalahan.

Kenangan ini menjadi tak terlupakan. Dulu, orang bisa menjadi marah, jika Siwo PWI Jaya membuat kegiatan tidak minta bantuan kepada mereka.

Bantuan seperti ini juga sering datang dari orang yang sama sekali tak dikenalnya. Satu kali, menjelang Porwarnas I di Semarang tahun 1983, Sam mengaku tiba-tiba dihubungi Hariman Siregar, aktivis Malari, yang saat itu menjabat Ketua Umum Persija Selatan.

Hariman sengaja menawarkan bantuan buat Siwo PWI Jaya.
“Lu datang ketemu gua, Sam,” ujar Hariman melalui telepon.

Pertemuan dilakukan. Ternyata orang yang memberikan bantuan adalah Alamsyah Ratuperwirangera, Menko Kesra RI saat itu.
Dan jumlahnya sangat besar !

Paling besar jumlahnya diantara yang lain, bahkan langsung menutup semua biaya Kontingen PWI Jaya ke Porwarnas I di Semarang itu.

***
HARI itu, selesai acara dan akan pulang, ia tampak terlihat jalan tertatih. Saya berinisiatif membawakan kotak rice cooker hadiah doorprizenya, dari lantai 9 ke lobi gedung.

Saya amat menghormatinya.

Saya juga menawarkan untuk mengantarnya pulang, ke rumahnya, di Depok – meski jaraknya amat jauh – tapi ia menolak. “ Anakku sudah memesankan Grab,” ucapnya. Salah satu putranya, yang memesankan Grab, sedang tidak menemaninya karena berkegiatan di lokasi lain.

Hujan waktu itu mengguyur lebat.

Mobil Grab sudah tiba. Sam pamit . Ia bergegas pulang. Tidak perlu menguatirkan dirinya, sebab, katanya, ia sudah 2 kali lolos dari kematian. Pertama, serangan stoke yang masih membekas – langkah kaki dan bicaranya yang tak mantap lagi — dan kedua, lolos prahara covid-19.

Saat kami duduk bersebelah, ia sempat berbisik. Pelan sekali.
“Kamu ada rencana ke Tarakan ?”

Saya diam.

“Kalau mungkin, ajak saya. Sudah 50 tahun saya tak pernah liat Tarakan lagi. Tarakan itu kota kelahiran saya.”

Saya mengangguk. “Ia, bang. Nanti kita atur ya.”.

***

MAKA, izinkan saya menutup tulisan ini, dengan doa: Tolong jaga bang Sam, Tuhan !

Jakarta, 05-03-2023

Sudarsono Gunawan*)

– mantan wartawan olahraga di DKI Jakarta

– pengusaha percetakan)

Artikulli paraprakACR Juarai Ganesha Bridge Open Tournament 2023
Artikulli tjetërKota Yogyakarta Anti Klakson?

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini