Beranda Hukum Dinilai Tidak Adil, Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim Tolak Revisi RTRWP Kaltim

Dinilai Tidak Adil, Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim Tolak Revisi RTRWP Kaltim

117
0

Satumejanews.id. BALIKPAPAN- Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) terkait Revisi Ranperda (Rancangan Peraturan Daerah) Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) yang digelar di Balikpapan, memperoleh tanggapan agak miring dari kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di provinsi ini.

Antara lain, WALHI, Jatam, Pokja 30, dan AMAN Kaltim. Mereka tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Timur (Kaltim). Mmereka mengutarakan kekecewaannya terhadap draf rancangan perda RTRWP yang saat ini lagi dibahas.

Sebenarnya kekecewaan serupa pernah dialami tahun 2016 silam. Sebab, Koalisi Masyarakat Kalimantan Timur telah mengkritisi Peraturan Daerah (Perda) RTRWP Kaltim Nomor 1 Tahun 2016 sebelum disahkan, tetapi tidak didengarkan.

Setelah lima tahun berlalu, hal ini kembali terulang dalam rangkaian peninjauan atas RTRWP Kaltim. Bahkan parahnya, draf rancangan Perda revisi ini dibuat secara instan, dan tidak melibatkan seluruh masyarakat Kaltim dalam perumusan hingga pembahasannya.

“Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim menolak revisi rancangan Perda RTRWP Kaltim 2022-2042 yang disampaikan melalui FGD pada Kamis, 6 Oktober 2022 di Balikpapn. Kami memberikan catatan serius kepada Pemerintah serta DPRD Provinsi Kaltim, untuk menghentikan seluruh proses juga pembahasan revisi ini hingga adanya pelibatan aktif dari seluruh masyarakat yang menjadi korban dari adanya RTRWP Kaltim mulai dari perumusan dan pembahasannya,” kata Yohana Tiko dari WALHI Kaltim.

Tiko, mengungkapkan kekhawatirannya bila pembahasan Raperda RTRWP Kaltim itu tetap dipaksakan sampai pengesahan, maka dalam kurun waktu lima tahun mendatang akan menjadi senjata pemusnah bagi wilayah kelola rakyat dan ruang hidup.

“Pembagian pola ruang yang dominan pada fungsi budidaya di Provinsi Kaltim akan menggiring provinsi ini menuju kehancuran sosio-ekologis ke depan,” tandas Tiko, panggilan pendeknya.

Draf revisi rancangan Perda RTRWP ini justru bertolak belakang, kata Tiko, dengan komitmen Presiden Joko Widodo pada Konferensi Tingkat Tinggi perubahan iklim, Paris tujuh tahun yang lalu terkait janji Indonesia untuk mengawal agar suhu global tidak melebihi dari 1,5 derajat celcius.

Sementara problem di Kaltim adalah provinsi ini, yang paling tinggi dalam pelepasan karbon makanya tidak heran di tahun 2021 menduduki peringkat pertama tingginya suhu di kisaran 38,4 derajat celsius. Kondisi itu diyakini Walhi Kaltim diakibatkan pembukaan lahan secara masif. Oleh sebab itu tidak mengherankan, jika sebanyak 60 persen bencana yang terjadi di Kaltim adalah banjir. Bencana alam, lanjut Tiko, merupakan akumulasi dari tidak adanya keadilan ruang hidup dalam peruntukan tata ruang yang sebelumnya di Kaltim.

Menurut Koordinator Pokja 30 Kaltim, Buyung Marajo, Raperda RTRWP Kaltim cacat prosedural maupun subtansial. Sebab penyusunanannya masih menggunakan konsideran Undang-Undang Cipta Kerja pada Raperda RTRWP tersebut, dengan kata lain sudah melawan atau membangkang dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

“Mandat Putusan MK 91 adalah tidak boleh membuat regulasi turunan dari UU Cipta Kerja sampai adanya perbaikan,” ungkap Buyung, sapaan karibnya.

Terpisah, Ketua Badan Pengurus Harian AMAN Kaltim, Saiduan Nyuk, mengungkapkan ingin melibatkan publik, masyarakat, tapi waktu yang diberikan tidak layak beserta kelengkapan dokumennya. Karena undangan mengikuti FGD itu baru diterima pihaknya pada Minggu, 2 Oktober 2022.

“Dan kami tidak diberikan dokumen KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis, Red) artinya kami dipaksa mempelajari, mengerti, dan memahami 501 halaman draf Raperda revisi RTRWP Kaltim dalam jangka waktu 4 hari,” ketusnya.

Padahal yang dibahas, sambungnya, berkaitan langsung dengan penataan ruang hidup, dan wilayah kelola masyarakat Kaltim ke depan. AMAN Kaltim sendiri juga harus mempercakapkannya dengan 72 komunitas anggota masyarakat adat, yang tersebar di tujuh kabupaten se-Kaltim. Kondisi itu pun menunjukkan bahwa tim perumus tidak melakukan pelibatan aktif, dari publik sejak perumusan hingga pembahasan.

Dinamisator Jatam Kaltim, Eta, mengatakan, secara substansi Raperda ini disusun dengan kajian yang tidak menggunakan pendekatan prinsip keadilan ruang. Hal ini terbukti dari pembagian pola ruang yang tidak proporsional antara fungsi lindung, dan fungsi budidaya.

Dijelaskan Eta, Raperda RTRWP yang mengalokasikan hanya dua juta lebih untuk fungsi lindung, sedangkan untuk fungsi budidaya sebesar 12 juta lebih. Jika melihat lampiran peta kawasan pertambangan mineral, dan batubara hampir seluruh wilayah Provinsi Kaltim dialokasikan untuk pertambangan.

“Alih-alih menghitung kemampuan ruang Kaltim secara proporsional Raperda berencana menguras habis kemampuan daya dukung, dan daya tampung lingkungan di Kaltim,” jelasnya.

Menurut Eta, di balik itu apabila ditelusuri lebih jauh bahkan terjadi penyusutan kawasan lindung Provinsi Kaltim, yang signifikan dibandingkan dengan sesudah dialokasikan pada Perda RTRWP sebelumnya. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini