Beranda Kalimantan Timur Kaltim Ngendap Rp5 Triliun?

Kaltim Ngendap Rp5 Triliun?

260
0

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tak gentar menghadapi protes pemangkasan TKD di semua daerah.(Ist)

 Catatan Rizal Effendi

 “PERANG” Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dengan Pemerintah Daerah (Pemda) masih seru. Ini buntut dari kebijakan pemangkasan dana Transfer ke Daerah (TKD), yang membuat Pemda kelimpungan dan napas APBD-nya tersengal-sengal.

Rombongan 18 gubernur termasuk Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud yang datang “menyerbu” Kementerian Keuangan (Kemenkeu) beberapa waktu lalu tak meredakan suasana. Perang terbuka masih terjadi dan kesannya sama-sama punya alasan kuat.

“Kami minta jangan ada pemotongan. Dana yang ada saat ini saja hanya cukup untuk belanja rutin, bukan pembangunan,”  kata Gubernur “cantik” Maluku Utara Sherly Tjoanda, yang lalu ditambahkan oleh Gubernur Aceh Muzakir Manaf.  “Pemotongan ini menjadi beban semua provinsi. Kami minta dikaji ulang,” tandas mantan panglima GAM ini.

Selain itu, Menkeu juga berhadapan “head to head” di antaranya dengan Gubernur Jawa Barat Kang Dedi Mulyadi (KDM) dan Gubernur Sumatera Utara (Sumut), Bobby Nasution, yang juga menantu mantan presiden Jokowi.

Menkeu Purbaya sendiri ternyata  keukeuh dengan langkahnya. Dia tetap bergeming bahwa pemangkasan itu sudah benar adanya. Selain faktor efisiensi, dia juga mengungkapkan fakta lain yang memberi kesan bahwa Pemda sendiri selama ini juga belum maksimal membelanjakan dana APBD-nya.

Dia menegaskan meski besaran TKD 2026 turun dari Rp848,52 triliun menjadi Rp693 triliun, toh total dana APBN yang digelontorkan untuk program daerah 2026 menjadi Rp1.300 triliun atau naik Rp919,9 miliar dibandingkan tahun sebelumnya.

Dari sisi lain Purbaya mengungkapkan ada hal yang kontradiktif dalam pengakuan kepala daerah dengan data dari Bank Indonesia per 15 Oktober 2025. Di satu sisi daerah bilang kelimpungan dengan pemangkasan TKD, tetapi di sisi lain ada dana daerah yang mengendap di perbankan mencapai Rp233 triliun meliputi simpanan pemerintah kabupaten Rp134,2 triliun, pemerintah provinsi Rp60,2 triliun dan pemerintah kota Rp39,5 triliun.

Lalu beredar nama 15 daerah yang punya simpanan terbesar. Yaitu paling tinggi DKI Jakarta Rp14,68 triliun, menyusul Jatim Rp6,84 triliun, Kota Banjarbaru Rp5,17 triliun, Kaltara Rp4,7 triliun dan Jabar Rp4,17 triliun. Ada juga masuk Kabupaten Kutai Barat di urutan ke-7 dengan simpanan Rp3,2 triliun.

Nama Provinsi Kaltim sepertinya tidak ada dalam kelompok 15 besar? Tapi belakangan Kaltara melakukan klarifikasi. Menurut Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kaltara, Denny Harianto, angka Rp4,7 triliun adalah angka di Kaltim bukan di provinsinya.

Meski protes pemangkasan TKD, para gubernur tetap minta selfie dengan Menkeu.(Ist)

Sementara itu Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah, Senin (20/10) lalu mengungkapkanbahwa dana milik Pemda yang tersimpan di perbankan per  17 September 2025 tercatat Rp215 triliun.

Dari total dana tersebut,  simpanan pemerintah provinsi mencapai Rp64,95 trilliun, pemerintah kabupaten Rp119,92 triliun dan pemerintah kota Rp30,13 triliun.

Di tingkat provinsi yang terbesar adalah DKI Jakarta Rp19,48 triliun, menyusul Jawa Timur Rp5,79 triliun dan Kalimantan Selatan Rp5,3 triliun.

Kemudian Provinsi Kaltim sebesar Rp4,96 triliun (hampir Rp5 triliun), Jawa Barat Rp2,67 triliun, Sumatera Utara Rp2,08 triliun, Sumatera Selatan Rp1,86 triliun dan Kalimantan Barat Rp1,69 triliun.

Sejauh ini kita belum mendengar penjelasan resmi dari Pemprov Kaltim. Apakah angka Rp4,7 triliun atau Rp4,96 triliun memang dana APBD Kaltim yang tersimpan di bank. Apakah hanya di Bankaltimtara atau ada di bank lain. Lalu bagaimana perincian dan penjelasannya?

Menurut Mendagri, dana daerah yang mengendap di perbankan itu mencerminkan serapan belanja Pemda yang baru mencapai Rp802,41 triliun, kurang dari 80 persen dari total pagu atau alokasi APBD Rp1.017,42 triliun per 17 Okober 2025.

Data Bank Indonesia dengan data Kemendagri tampaknya ada yang berbeda. Data BI lebih besar Rp18 triliun.  Purbaya tidak tinggal diam. Dia minta diusut apakah kesalahan pencatatan atau ada penggunaan dana yang belum jelas. Sementara DPR berencana akan memanggil kedua menteri itu untuk memperjelas terjadinya perbedaan data tersebut.

Menurut Purbaya, tidak semua dana yang tersimpan di rekening daerah digunakan sebagaimana mestinya. Sebagian dana kemungkinan belum direalisasikan untuk belanja daerah, tapi bisa jadi juga terjadi penyimpangan.

Pemerintah Pusat belum melihat adanya perbaikan signifikan dalam tata kelola anggaran di tingkat daerah. Kasus penyalahgunaan dana publik masih cukup tinggi, menjadi kendala untuk menambah alokasi TKD.

Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa dan Mendagri Tito Karnavian ketika tampil bersama di DPR RI.(Ist)

Menkeu menegaskan, Pemerintah Pusat menginginkan dana daerah yang tersimpan di bank tidak besar. Harus segera dibelanjakan, sehingga perekonomian berjalan dan memberikan multiplier effects bagi pembangunan dan kesejahteraan.

SEMBILAN PENYEBAB UTAMA

Banyak yang bertanya kepada saya yang pernah jadi wali kota, mengapa dana daerah atau APBD terbilang besar mengendap di bank? Apa itu disengaja atau ada faktor lain?

Mendagri Tito Karnavian mengungkapkan ada 9 penyebab utama uang APBD tidak atau lambat dibelanjakan.

Pertama, kebijakan efisiensi dan penyesuaian APBD 2025 sesuai Inpres Nomor 1 Tahun 2025 dan Surat Edaran (SE) Mendagri 900/833/SJ (23 Februari 2025), yang membuat sejumlah daerah menunda pelaksanaan APBD untuk menyesuaikan pendapatan dan belanja.

Kedua, penyesuaian visi, misi, dan program kepala daerah pasca-pelantikan 20 Februari 2025, sebagaimana diatur dalam SE Mendagri 900/640/SJ (11 Februari 2025).

Ketiga, kendala administratif dalam pelaksanaan proses belanja barang dan jasa, belanja modal, bantuan sosial dan subisidi.

Keempat, adanya peralihan sistem katalog elektronik dari versi 5 ke versi 6 yang menimbulkan kendala teknis seperti bug, error, serta kurangnya pemahaman SDM Pemda dalam penggunaannya.

Kelima, pelaksanaan proyek fisik seperti pembangunan gedung, jalan, dan jaringan irigasi yang umumnya baru mulai dikerjakan pada kuartal II-III, sehingga pembayaran termin baru dilakukan pada akhir tahun.

Keenam, kecenderungan realisasi belanja menumpuk di akhir tahun, akibat pengajuan pembayaran oleh pihak ketiga yang dilakukan menjelang tutup buku anggaran.

Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda dan Gubernur Aceh Muzakir Manaf setelah menggeruduk Kementerian Keuangan memprotes pemangkasan TKD.(Ist)

Ketujuh, keterlambatan kementerian/lembaga pengampu dalam menetapkan petunjuk teknis atau petunjuk operasioal Dana Alokasi Khusus (DAK).

Kedelapan, proses pengadaan tanah dan sertifikasi yang dilakukan bersamaan dengan proyek fisik, tetapi belum rampung hingga kini.

Kesembilan, penundaan pembayaran iuran BPJS yang memerlukan waktu untuk proses rekonsiliasi dengan BPJS Kesehatan.

Selain ke-9 hal tersebut, dari pengalaman saya yang lalu, ada juga penyebab lain. Misalnya ada daerah yang dengan sengaja menempatkan dananya tidak saja di bank daerah, tetapi juga di bank-bank lain. Bank lain kerap menggoda kepala daerah dengan iming-iming ada jasa yang lebih menguntungkan baik untuk Pemda maupun pribadi.

Bisa juga masuknya dana kekurangan salur dari Pemerintah Pusat. Dana kurang salur itu adalah sisa Dana Bagi Hasil (DBH) tahun sebelumnya yang masuk pada tahun berjalan. Biasanya pemanfaatannya belum diprogram sehingga masih bisa diendapkan di perbankan.

Ada juga sisa dana pelelangan yang masuk ke kategori Sisa Anggaran Lebih (SAL) atau Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA). Misalnya ada proyek fisik yang dianggarkan Rp10 miliar. Ternyata hasil pelelangannya hanya  Rp7 miliar. Maka Rp3 miliarnya dianggap penghematan, yang mengendap di perbankan.

Tempo hari ada juga keterlambatan pelelangan karena Pemda  bersikap terlalu berhati-hati dan tidak mau jadi urusan dengan aparat hukum (APH). Hal itu pernah disampaikan waktu rapat kepala daerah dengan Presiden Jokowi. Akhirnya dibentuklah lembaga bernama TP3D yaitu Tim Pertimbangan Percepatan Pembangunan Daerah. Tim ini diisi aparat kejaksaan dengan tugas mengawal pembangunan di daerah.

Awalnya TP3D berjalan efektif. Tapi belakangan jadi persoalan baru. Sehingga akhirnya Presiden membubarkan lembaga tersebut.

Terlepas soal perbedaan angka, tapi “gebrakan koboi” Purbaya dengan pemangkasan TKD dan sorotan dana daerah yang mengendap di perbankan sangat baik. Itu membuat daerah terbelalak matanya. Mengevaluasi kembali sepak terjangnya dalam mengelola APBD secara benar dan efektif.

Yang tak kalah pentingnya daerah harus benar-benar serius melakukan gerakan efisiensi. Selama ini pemborosan terjadi di mana-mana.   Perjalanan dinas tidak terkendali baik di eksekutif maupun legislatif. Banyak acara seremonial serta makan dan minum seenak perutnya. Semua itu lolos dalam pengawasan. Jadi ada baiknya langkah Purbaya   mengikis pola hidup purba kita.  Karena itu kita perlu meneriakkan: Hidup Purbaya!!!!(*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini