Satumejanews.id. BATU – Tingginya angka stunting di Jawa Timur (Jatim) yang mencapai 23 persen, diperlukan untuk menurunkannya. Sedangkan angka stunting nasional 24,4 persen.
“PKK Jatim akan melakukan kolaborasi dengan OPD (Organisasi Perangkat Daerah) untuk menurunkan angka stunting tersebut. Setidaknya sampai 13,50 persen di tahun 2024 mendang,” kata Ketua PKK Jatim Arumi Bachin.
Pernyataan itu diutarakan Arumi kepada awak media, usai melantik Ketua PKK Kota batu, Kamis (26/1/2023).
Menurutnya, problem stunting di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2021 mencapai 23,5 persen. Di antara data tersebut, Kota Mojokerto tercatat menjadi daerah dengan problem stunting terendah, yakni di angka 6,9 persen. Sementara Kota Batu memiliki prevalensi Stunting 14 persen.
Disebutkan, di Jawa Timur ada 4 kabupaten yang masuk zona merah stunting. Yakni yang memiliki angka prevalensi stunting di atas 30 persen. Tingginya angka prevalensi stunting setiap daerah mempunyai permasalahan yang berbeda-beda, kalau wilayah kota biasanya rendah.
“Bangkalan 38,9 persen, Pamekasan 38,7 persen, Bondowoso 37,0 persen, dan Lumajang 30,1 persen. Kalau saya lihat variabel yang ada, rata-rata disebabkan oleh lingkungannya,” kata Arumi.

Diakui, Bangkalan dan Pamekasan awalnya memiliki angka tinggi, kini mulai ada penurunan, berkat penemuan baru dengan bekerja bersama-sama setiap OPD yang ada dengan menyatukan program dan kadernya PKK turun bersama membina masyarakat.
“Hasilnya luar biasa, penurunannya sangat singnifikan, semoga apa yang dicapai kedua daerah ini mampu dicontoh daerah lainnya untuk bersama-sama mengatasi stunting secara gotong royong antara OPD dan kader PKK turun ke masyarakat,“ lanjutnya.
Arumi menyebutkan salah satu faktor tingginya angka stunting di sejumlah daerah di Jatim itu karena jamban yang tidak layak. Kemudian kurangnya air bersih di daerah juga menjadi salah satu faktor.
“Merubah habbit tidak mudah. Ada kebiasan sebagai contoh ayah atau ibunya peternak sapi, dimana sapinya harus diperah mulai dari pagi. Pada waktu bersamaan anak sarapan untuk pergi ke sekolah. Jadi banyak anak yang justru di daerah yang banyak susunya, angka stuntingnya tinggi, karena pada pagi hari mereka lebih dari 50 persen tidak sarapan. Tapi setiap daerah berbeda kasusnya,“ papar Arumi.
Menurut Arumi, sebaran tingginya angka stunting diwarnai dipengaruhi lingkungan, sosial, dan ekonomi. Namun, beberapa daerah juga berhasil menekan angka stunting dengan berbagai inovasinya.
“Kabupaten Ngawi, Kota Batu, Trenggalek, inovasinya bagus dan (mampu) mengatasi masalah. Artinya inovasi dan terobosan itu penting,” ujarnya.
Menurut data BKKBN RI di Jawa Timur daerah zona merah Stunting tersebar di 18 Kota – Kabupaten, sedangkan zona kuning stunting dengan prevalensi 20 persen – 30 persen ada 5 kota dan Kabupatenn yakni Kabupaten Sumenep, Kota Surabaya, Kabupaten Malang, Kota Malang, serta Nganjuk. Sementara zona Hijau Stunting ada 15 Kabupaten dan Kota yang mempunyai angka prevalensi stunting 10 persen – 20 persen di Jatim. Yaitu Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Probolinggo, Trenggalek, dan Kota Batu.
Arumi memnyebutkan dampak terburuk dari Stunting, 20 tahun dari sekarang yang masih usia pertumbuhan akan menjadi beban negara. Karena anak-anak yang stunting bukan karena pendeknya tetapi kualitas hidupnya sangat rendah artinya gampang terkena penyakit, pertumbuhan kurang maksimal, satu sisi pertumbuhan cognitif karena pada pertumbuhan tidak ada nutrisi yang mencukupi sehingga pembentukan otak dan logika berpikir sangat dibawah rata. (sm11)