Beranda Opini Balikpapan dalam Lintasan Sejarah

Balikpapan dalam Lintasan Sejarah

904
0

Oleh : Muhammad Asran *)

HARI Lahir Balikpapan,   semakin mendekati, tinggal menghitung hari saja, tepatnya tanggal 10 Februari 2023 mendatang. Kota yang berjuluk “Bumi Patra” atau dikenal dengan sebutan kota “Minyak” sudah berusia satu abad lebih, yaitu ulang tahunnya ke 126. “Dirgahayu” kota kelahiranku. Selamat dan sukses selalu mantan Walikota ke IX. Walikota Balikpapan- H Muhammad Rizal Effendy, dimana Rahmad Mashud sebagai Wakil Walikota (2016-2021), terpilih menjadi Walikota ke X, untuk masa bakti (2021-sekarang).

Balikpapan yang telah ditasbihkan pada tanggal 10 Februari 1897, sebagai hari lahirnya, merujuk pada penemuan Sumur Mathilda, 10 Februari 1897. Merupakan peristiwa yang sangat penting pada pertumbuhan kota Balikpapan. Tanggal penemuan sumur tersebut kemudian ditetapkan sebagai lahirnya Kota Balikpapan. Melalui proses Seminar sehari, pada tanggal 1 Desember 1985, oleh tokoh masyarakat dan melibatkan anggota legislatif dan eksekutif kota Balikpapan, sehingga menghasilkan kesepakatan, tanggal 10 Februari 1897, telah dijadikan rujukan sebagai hari lahirnya Kota Balikpapan.

Sejak dituangkannya dalam Undangan Undangan Nomor 27 Tahun 1959, tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan Timur,  Balikpapan berdiri sendiri menjadi Kotapraja Balikpapan, yang terpisah  dari Daerah Istimewa Kutai (DIK). Walikota pertama pada saat itu, adalah, Aji Raden (ARS) Muhammad  (1960-1963), yang memimpin Kota Balikpapan. Pada masa kepemimpinannya diwarnai suhu politik di tanah air, dalam situasi pengaruh suhu politik yang dilakukan oleh PKI.

Suhu politik di tanah air juga berimbas dengan kondisi Kota Balikpapan pada saat itu. Walikota pertama, ARS Muhammad (1960-1963), berlanjut ke Walikota ke II, Mayor TNI AD, Bambang Sutikno (1963-1965). Suhu politik di tanah air kian memanas, terutama menjelang pecahnya pemberontakan PKI G30 S/PKI. Walikota ke III Balikpapan, yang menggantikan Bambang Sutikno, ialah Mayor TNI AD Imad Saiki (1965-1957), pecahnya pemberontakan G 30 S/PKI, mewarnai kepemimpinannya.

Dari pemimpin-pemimpin walikota Balikpapan terus berlanjut ke Walikota Balikpapan ke IV, yaitu dipimpin Mayor Pol  Zainal Arifin (1967-1973), menggantikan  Imad Saili, Walikota ke III. Situasi politik dan keamanan pada era Orde Baru (Orba), di Balikpapan tetap terjaga dengan baik. Geliat pembangunan semakin tampak, ditandai masuknya perusahaan-perusahaan minyak asing berserta service comoanie (Perusahaan-perusahan penunjang) semakin meramaikan kegiatan ekonomi Balikpapan.

Kemudian walikota ke V, Letkol Pol H Asnawi Arbain (1973-1981), meneruskan kepemimpinan Zainal Arifin sebagai walikota selanjutnya. Pada roda pemerintahanya, ekonomi dan pembangunan semakin baik ditunjang dengan situasi keamanan Kota Balikpapan yang kondusif. Balikpapan menawarkan kesempatan kerja yang luas membuat semakin banyak pendatang ke Balikpapan, hingga pemimpin Kota Balikpapan terus berganti. Saat ini Balikpapan sudah dipimpin walikota yang ke X.

Masa perjalanannya jauh sebelumnya Balikpapan sudah ada di masa lampau, bahkan masuk ke dalam wilayah pengembangan pemerintah Kesultanan Kutai. Kemudian kesultanan Kutai secara resmi menjadi wilayah protektorat Hindia Belanda. Sejak itulah wilayah Balikpapan sebagai daerah “Protektorat Pemerintahan Hindia Belanda”, dalam arti menjadi asal usulnya sejarah pemerintahannya.

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, berkedudukan sebagai sebuah pemerintahan “Onderagdeeling” itu artinya Balikpapan masuk dalam wilayah atau bagian Kesultanan Kutai, yang berada dalam pemerintahan Kutai Selatan. Meliputi dalam dua distrik, masing-masing Samboja dan Balikpapan dan dipimpin seorang “Controleur” pada zaman tersebut.

Wilayah Onderagdeeling Balikpapan, pada saat itu dipimpin oleh seorang “gezaghebler” atau dikenal dengan sebutan “Komendur Laut,” yang fungsinya untuk menjalankan roda pemerintahan  saat itu. Namun kemudian Gezaghebler dihapus dengan penempatan seorang Controleur, dan mereka bertindak sebagai kepala pemerintahan setempat.

Selama berkedudukan sebagai kepala pemerintahan Onderagdeeling di Balikpapan, telah menjabat sebanyak enam orang, yang memerintah sebagai Controleur. Dengan masa jabatan masing-masing berbeda, seperti masa kepemimpinan Brouwer (1927-1929), Van Dreis (1929-1934), Van dr Brink (1934-1936), Mr Van Hoeve (1938-1940) dan masa kepemimpinan N Bleckmen ((1949-1942) pada saat itu.

Mereka selama menjabat dan memegang kekuasaan sebagai kepala distrik, juga membagi kepala distrik yang memegang wilayah distrik berada di bawah Controleur masing-masing. Kepala distrik pada saat itu menjabat adalah Kiyai Mas Temenggung, Kutai Mas Djaya Purwanta, Kutai Djaya, Kutai Nas Titip dan Kutai Raden Rahmad.

Pada era tahun 1920-an distrik Balikpapan meliputi lima buah Kampung, dimana kampung tersebut masing-masing dipimpin oleh seorang petinggi. Sebutan dalam masyarakat setempat bagi seseorang yang mengepalai dalam sebuah kampung disebut pembakal atau kepala Kampung, zaman sekarang disebut dengan Kepala Kelurahan.

1. Kampung Baru, yang meliputi Balikpapan Seberang,  antara lain Jenebora, Penajam serta wilayah sekitarnya.  

2. Kampung Karang Anyar, meliputi Strat Baru,  yang meliputi wilayah Gunung Sari Ulu.

 3. Klandasan Ilir meliputi wilayah Manggar.

 4. Klandasan Ulu wilayah sampai Pulau Tokong.

 5. Prapatan wilayah kekuasaannya hingga Gunung Sari Ilir.

Namun ke lima kampung di atas, sebenarnya masih terdapat beberapa Kampung yang wilayahnya berada dalam wilayah otoritas De Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM). Bahkan petinggi Kampung ini juga langsung dipegang oleh orang-orang BPM, dan secara khusus untuk mengamankan kepentingan pihak BPM itu sendiri.

Sejak tahun 1920, setidaknya ada tiga petinggi yang masing- masing berkedudukan di Pandan Sari, Gunung Balikpapan, dan Pasar Baru. Sejak saat itu juga terdapat tiga Kampung yang berada dalam pengawasan atau otoritas pihak BPM sepenuhnya. Sejak pemerintahan Hindia Belanda, kampung-kampung tersebut tidak mengalami perubahan wilayah Administratif dan pengganti petinggi, kecuali yang bersangkutan meninggal dunia atau gangguan kejiwaan tetap sehingga tidak ada batasan lamanya menjabat.

Dalam melaksanakan tugasnya para petinggi Kampung di bantu oleh wakilnya, terdiri dari satu orang dan bisa juga lebih dari satu orang. Seperti Petinggi Kampung Baru Ulu menempatkan tiga orang Wakilnya. Kampung Baru Ulu menempatkan sebanyak tiga orang  wakil petinggi dengan wilayah masing-masing Mentawir Teluk Tebang dan Teluk Waru.

Petinggi Karang Anyar meliputi Strat Baru dibantu tiga orang wakil masing-masing berkedudukan di Rapak,  Strat Baru,  dan Cemara Ginting (Cemara Rindang). Untuk Kepala Kampung Klandasan Ilir, menempatkan sebanyak dua orang mereka menguasai wilayah Manggar dan Sepinggan. Untuk Klandasan Ilir di Bantu satu orang wakil berkedudukan di Cemara Ginting.

Sedangkan untuk wilayah petinggi Prapatan menempatkan satu orang wakil yang berkedudukan di Gtobtrng, Sekarang wilayah Jembatan Marayati (Gunung Sari). Menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda maka wilayah Balikpapan Seberang, di mana sebelumnya dalam wilayah Kampung, setelah itu diubah menjadi Kampung Mandiri.

Beberapa kampung dari hasil pemekaran Kampung Baru (Balikpapan Seberang) meliputi Kampung Tuban,Kampung Tanjung jumlai, Kampung Nenang, dan Kampung Penajam. Setelah era tahun 2000-an Balikpapan Seberang. Oleh Pemerintah Balikpapan diserahkan ke Kabupaten Pasir Tanah Grogot, kemudian pada tahun 2002, Penajam berdiri sendiri pada tanggal 10 April 2002 sesuai dengan Undang Undang RI Nomor 7 tahun 2002, sebagai Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU).

Inilah kisah Balikpapan, pada Tempoe Doeloe.

*) Muhammad Asran (Pemerhati Sejarah Balikpapan)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini