Toko Buku Aziz, yang sudah berusia 62 tahun
Catatan Rizal Effendi
KETIKA saya ke Samarinda, pekan lalu, saya sempatkan singgah di Pasar Pagi. Tujuan utama ke Toko Buku (TB) Aziz di Jl Gajah Mada. Ini masuk kategori toko buku legendaris. Karena usianya sudah di atas 60 tahun. Waktu saya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) dan Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) di tahun 70-an, saya sering ke sana. Belanja keperluan buku pelajaran dan alat-alat sekolah.
Sayang sekolah SMEP kebanggaan saya itu sudah dihapus Kementerian Pendidikan. Lokasinya di Jl KH Ahmad Dahlan, sudah dijadikan sekolah SMKN 4. Saya masih ingat kepala sekolahnya di antaranya Pak Samsul Masri dan Pak Obet. Keduanya sudah meninggal dunia. Ada guru saya juga, Pak Armain, Pak Zainuddin, dan Pak Sarbani.
Begitu juga sekolah SMEA sudah hilang diganti Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 1 di Jl Pahlawan 4. Saya ingat kepseknya, Pak Slamet juga sudah tiada. Dan wakilnya Pak Harjito, yang tak lain adalah ayahanda Marsekal Madya (Purn) Tatang Harlyansyah, SE, MM, mantan komandan Komando Pembinaan Doktrin, Pendidikan dan Latihan Angkatan Udara (Dankodiklatau).
Sewaktu di SMEA, saya dan teman-teman sangat suka turun ke sekolah pagi-pagi. Soalnya, di samping sekolah kami ada Sekolah Kesejahteraan Keluarga Atas (SKKA). SMEA lebih banyak didominasi siswa laki-laki. Sedang SKKA melulu perempuan. Jadi setiap ada kesempatan kami selalu “menyerbu” SKKA. Gedung SKKA sekarang dijadikan sekolah SMP Negeri 22.
Sebelum pindah ke Jl Pahlawan, saya dan teman-teman sempat menumpang belajar di SMAN 1 di Jl Bhayangkara. Sayang Gedung SMAN 1 yang bersejarah itu sudah diruntuhkan dijadikan Museum Samarinda menyusul dibuatnya Taman Samarendah di depan rumah dinas wakil gubernur Kaltim.
Mencari Toko Buku Aziz tidak sulit. Lokasinya di deretan ruko yang persis berseberangan dengan dermaga penyeberangan Pasar Pagi. Meski papan namanya sudah usang. Suasana toko tidak berubah. Penuh sesak dengan tumpukan buku-buku, baik yang di lemari kaca maupun ditumpuk di atas lantai. Dua karyawan masih menyusun dan merapikan buku-buku. Maklum saya datang agak pagi, sekitar pukul 10.00. Toko baru saja buka, pengunjung masih sepi.
Ada karyawati toko itu menghampiri saya. Dia bertanya saya cari buku apa. Saya bilang saya mau beli “Kunci Ibadah.” Rasanya buku panduan salat ini sudah ada sejak dulu. Saya disodori “Kunci Ibadah” karangan SA Zainal Abidin. Di sampul depannya tertulis huruf merah tebal “BARU & YANG ASLI.” Penerbitnya, PT Karya Toha Putra dari Semarang. Tertanggal 17 Agustus 2001.
Satu lagi buku tuntunan salat ditunjukkan kepada saya. Judulnya “Risalah Tuntunan Shalat Lengkap Plus” karya Drs Moh Rifai. Penerbitnya, sama PT Karya Toha Putra. Kedua buku itu tebalnya juga sama. Sebanyak 128 halaman. Isinya sama-sama menjelaskan mulai soal tauhid, salat, zakat, dan haji.
Saya membeli keduanya. Harganya tidak terlalu mahal. Tidak sampai Rp 50 ribu. Tapi saya pikir sangat berguna untuk cucu saya, Defa dan Dafin, yang lagi semangat belajar di SD Islam Terpadu di Balikpapan Baru. Tiap malam dia belajar mengaji dan bacaan salat.
Yang lucu si Dafin, acapkali salatnya batal gara-gara tidak bisa menahan buang angin. Dia bergegas berwudhu lagi sambil tertawa. Abangnya jadi ikut batal. Jadinya dia salat lagi. Si abang yang bercita-cita jadi ustaz menjadi imam. Dafin yang menyerukan iqamat. Kalau ada yang salah, biasanya sang ayah, Aldi membantu meluruskan.
Toko Buku Aziz cukup banyak menjual buku-buku agama. Termasuk Alquran, tafsir, dan terjemahan. Maklum sang pemilik Abdul Aziz, yang sudah lama meninggal dunia adalah sosok yang sangat religius. Itu juga menurun kepada anak-anaknya yang meneruskan usaha keluarga ini.
Bayangkan toko ini dibuka pada tahun 1960. Generasi muda sekarang niscaya belum lahir. Meski menjual buku di era digitalisasi tidak gampang, toh Toko Buku Aziz tetap eksis. Malah sudah ada beberapa cabangnya. Ada di Samarinda Seberang (depan markas polisi), di kompleks Lembuswana, di Jl KH Abul Hasan 50 dan ada juga di Citra Niaga, persis samping Kedai Kong Djie, tempat saya sering makan lempeng.
SUDAH PADAT
Selain ke Toko Buku Aziz, sebenarnya saya ingin melahap aneka masakan banjar yang ada di dalam kompleks Pasar Pagi. Biasa dikenal sebagai “bangsal seng.” Karena bangunannya beratap seng. Dulu saya sering makan di sana. Kebetulan ada teman SMEP saya, Arifin yang jualan di sana. Arifin jago lari. Dia andalan sekolah untuk lari cepat 100 meter. Sayang dia sudah meninggal dunia.
Selain warung Arifin, ada juga warung mertuanya Humaidi, adik almarhum Pak Imdaad Hamid, mantan wali kota Balikpapan. Tapi saya dengar warungnya juga sudah tutup. Konon kini mereka usaha katering saja dari rumah.
Saya kaget ternyata di dalam sudah sangat padat. Hampir tak ada ruang lagi untuk bernapas. Sesak sekali. Dulu penghuni Pasar Pagi sebagian orang Banjar. Tapi sekarang sudah beragam. Ada pedagang berdarah Jawa, Bugis, dan lainnya. Meski berdesakan, para pedagang saya lihat ceria saja. Malah masih ada yang tidur di atas bangku.
Memang tidak gampang Wali Kota Andi Harun menata ulang Pasar Pagi. Padahal letaknya sangat strategis di jantung kota. Jumlah pedagangnya sudah membeludak melebihi kapasitas pasar. Bayangkan bagian belakang yang berada di Jl Jend Sudirman, sebagian jualan sampai ke seberang jalan. Terutama pedagang pisang dan sayur-mayur.
Memperluas pasar sudah tidak mungkin. Membuat pasar bertingkat juga tidak banyak yang sukses. Itu saya alami dengan Pasar Pandan Sari Balikpapan. Hampir semua pedagang tidak mau jualan di atas karena pembelinya juga tidak mau naik. Akibatnya penjual meluber sampai ke pinggir jalan.
Salah satu pasar terbaik di Kaltim ada di Tanjung Redeb, Berau. Namanya Pasar Sanggam Adji Dilayas. Sanggam itu artinya bagus, bersih, dan indah. Sedang Adji Dilayas adalah salah satu raja di Kesultanan Sambaliung, generasi ke-9.
Pasar seluas 7,5 hektare ini diresmikan Gubernur Awang Faroek, 3 Maret 2009. Waktu itu bupatinya, Drs H Makmur, HAPK, MM, yang sekarang digusur dari kursi ketua DPRD Kaltim oleh partainya, Partai Golkar. Makmur bupati yang sukses membangun Berau termasuk fasilitas pasarnya.
Saya tanya ke petugas Toko Buku Aziz, apa ada jual buku menata pasar. Dia menggelengkan kepalanya. “Di sini hanya buku-buku pelajaran sekolah dan buku agama,” jelasnya. Menata pasar adalah bagian tugas pemerintah agar tercipta pasar yang nyaman, baik bagi penjualnya maupun pembelinya. Pasarnya harus bersih, pro-lingkungan dan selalu mengikuti perkembangan.
Ketika saya keluar dari lorong Pasar Pagi, tak disangka ada wanita muda menyapa saya. “Eh Pak Rizal ya,” katanya menyalami saya. Rupanya dia kenal saya. Dia kaget kok saya belusukan ke dalam pasar. Saya jadi bersemangat. Meski pasarnya sesak, ternyata masih ada “bunga-bunganya” yang segar.(*)