Beranda Opini Mengenang Sofyan Asnawie

Mengenang Sofyan Asnawie

1915
0

SOFYAN Asnawie pernah menjadi ikon wartawan di Kaltim. Kalau ia masih hidup, sekarang usianya sudah 75 tahun.

Ia tinggal  di Balikpapan. Sosoknya dingin,  bicaranya sedikit ketus, tatapan matanya  tajam. Sampai ajal menjemput, ia tetap konsisten dan setia pada pilihan profesinya: Wartawan!

*

DULU, sampai era 80-an,  Kaltim yang dikenal lumbung minyak dan gas alam, belum ada satu pun koran harian, belum ada internet. Yang ada hanya koran lokal. Itu pun terbit  tak menentu, karena tempat mencetak yang paling memungkinkan, terbilang jauh,  hanya ada di Banjarmasin, Kalsel. Menumpang cetak di percetakan Almamater Press, percetakan harian Banjarmasin Post milik Djok Mentaya.

Kalau pun ada pilihan lain, itu harus ke Surabaya. Ada Percetakan Negara di Balikpapan, tapi tidak memadai.

Proses terbit sebuah koran pun menjadi amat melelahkan dan perlu waktu lama.  Naskah yang dikirim,  baru  sampai di percetakan berhari-hari kemudian. Belum lagi proses setting, lay out dan cetak, lantas mengirimkan kembali ke Kaltim. Bisa berminggu-minggu. Tapi, koran itu: Sampe, Mimbar Masyarakat, Suara Kaltim, BS Jaya, Wisma Berita dan Membangun, tetap nekad bertahan.

Ada yang bahkan  lebih nekad. Itu koran Meranti, yang konsisten hingga tiarap, menggunakan mesin cetak handpress. Cara kerja mesin ini sangat manual,  harus  menyusun hurup-hurup timbul dari  timah yang amat menguras enerji.

Sofyan Asnawie  saat itu sangat menonjol. Pintu masuknya sebagai jurnalis serius, dimulai sejak ia bergabung dengan Mimbar Masyarakat, didirikan Alwy AS dan seorang tokoh lainnya, Suhaimi Zakaria.

Dari Mimbar Masyarakat, Sofyan pindah  ke koran Sampe,

Titik terpenting adalah saat ia menjadi koresponden Harian Sinar Harapan di Balikpapan.

Itu pun ceritanya menarik.

Waktu itu, Jaksa Agung Ali Said sedang berkunjung ke Balikpapan. Sofyan, wartawan koran Sampe mengajukan pertanyaan seputar  penebangan liar dan pencurian kayu, yang katanya ajaib sekali  ketika sampai ke tingkat kejaksaan, kasusnya sering dideponir.

Ali Said tersengat dengan pertanyaan itu. “ Siapa yang mendeponir ! ?” sergah Ali Said dengan suara tinggi.

Ruang jumpa pers mendadak senyap.  “ Sayalah satu-satunya di negara ini yang boleh mendeponir sebuah kasus kejahatan, “  ia menegaskan lagi.

Di ruang itu, ada seorang wartawan dari Jakarta. Ia, Panda Nababan dari Harian Sinar Harapan Jakarta.

Selesai jumpa pers, Panda tampak berbicara dengan  Sofyan. Ali Said muncul mendadak dari belakang. “ Kau ingin mengetahui apa lagi dari dia, Pan ?”

 “Tidak, pak, saya ingin ia menjadi koresponden kami di daerah ini,” Panda menjawab.

Percakapan Sofyan dan Panda tidak lama. Di ujung percakapan, Panda berpesan,” Kirim beritamu ke redaksi SH, melalui saya, nanti saya prioritaskan untuk dimuat.”

Beberapa hari kemudian, ada kunjungan Menteri Penertiban Aparatur Negara JB Sumarlin, ke  Tanah Grogot. Ia  mewawancarai Sumarlin  secara eksklusif. Topiknya tak lepas dari pungli, yang waktu itu begitu marak. Ia mengirim hasil wawancara ke Sinar Harapan, dan dimuat. Bahkan dijadikan headline halaman satu.

Sejak itu, ia sering ditelpon redaksi Jakarta, disuruh sering menulis.

*

SEJAK remaja, Sofyan suka menonton film bioskop dan senang membaca cerita silat Kho Ping Ho.

Menonton film, membuatnya sangat imajinatif. Kelak ia juga  berteman  dengan Djeny Kosasih, manajer bioskop Tjempaka Banjarmasin atau Edy Gunawan, bos  bioskop Gelora Balikpapan, yang  memungkinkannya menonton film gratis sepuas-puasnya.

Kegemarannya membaca komik silat Kho Ping Ho, memberikan pengaruh besar, sehingga sebagai jurnalis ia sering tampil layaknya seorang pendekar, yang tak pernah takut. Ia bak  jagoan dalam cerita komik itu . Karakter ini kemudian  membentuk  minat besarnya pada jurnalisme Investigasi — yang menekankan penelusuran panjang dan mendalam terhadap sebuah kasus yang dianggap janggal..

Di sejumlah peristiwa penting dan sulit, karakter unggulnya itu bekerja dengan baik.

Ada tiga peristiwa besar, yang beresonansi secara nasional, mengisi banyak ruang memorinya. Pertama, mega korupsi Kabulog Kaltim di Balikpapan Budiaji; kedua, kasus Basri Masse, seorang  imigran gelap asal Pare-pare, yang dieksekusi mati di penjara Kepayan, Kinabalu, Malaysia; lalu peristiwa lepasnya Pulau Sipadan –Ligitan ke tangan Malaysia dalam sengketa wilayah  di Mahkamah Internasional.

Di kasus Budiaji, yang pada  1977  divonis penjara seumur hidup oleh hakim Larosa SH, ia mengawali persahabatan dengan wartawan Panda Nababan. Sofyan yang sebenarnya sangat dekat dengan Budiaji, banyak membantu tambahan informasi. Kedekatan dengan Panda Nababan, kini politisi PDI Perjuangan, membawanya menemukan passion  sebagai wartawan professional.

Lalu,  kasus Basri Masse, yang amat menghebohkan, ia koresponden Sinar Harapan Balikpapan yang diberangkatkan ke Kinabalu,  melapis wartawan Upa Labuhari, kini seorang lawyer.

Basri, Anda mungkin ingat, pada 1983  ditangkap polisi sebuah taksi di parkiran jalan Terawi, Putatan, Kinabalu dengan barang bukti 935 gram ganja. Ia ditangkap bersama  seorang temannya asal Maros, Abdul Patta Lubing.

Tiga tahun kemudian, majelis tinggi kota Kinabalu menjatuhkan vonis hukuman gantung. Jelang eksekusi, 1990, Indonesia berusaha menyelamatkan warga negaranya itu. Lewat Menlu Ali Alatas, Indonesia berharap Malaysia meninjau ulang  hukuman gantung  itu, mengingat ada beberapa kejanggalan  dalam proses hukumnya.

Tapi eksekusi tetap dilakukan. Lokasinya di Penjara  Kepayang, Kinabalu. Dilakukan diam-diam.

Saat itu puluhan wartawan Indonesia, justru terkonsentrasi mengejar isteri Basri, yang didatangkan kedubes, dan sedang ada di wisma Indonesia. Media sibuk menulis sisi human interest keluarga itu.

Versi Sofyan, yang pernah diceritakan kepada saya, ia satu-satunya yang tak ikut rombongan ke Wisma Indonesia. Ia bahkan  bersembunyi di kolong rumah seorang sipir, sehingga tahu persis kapan eksekusi dilakukan, kemudian mobil ambulan keluar dari gerbang penjara, lalu pemakaman jenazah di pemakaman muslim Kinabalu.

Saat Pulau Sipadan dan Ligitan lepas dari Indonesia, ia katanya sempat meneteskan air mata.

Pengalaman meliput dan  mengetahui setiap jengkal kedua pulau itu, kemudian membawanya dekat dengan banyak petinggi TNI. Ia bahkan pernah diminta Bupati Bulungan waktu itu, Sofyan Dali, memandu rombongan Harsudiono Hartas,  Kepala Staf Sosial Politik ABRI (Kassospol ABRI),  yang ingin mengetahui persis kedua pulau itu dari udara.

Tapi dalam percakapan, ia lebih tertarik membicarakan pulau Roche. Ini adalah pulau buatan Malaysia, di Tanjung Batu Tinanggat dekat dengan Ambalat, yang menunjukkan argumen kuat Malaysia tentang teritorinya.

*

SOFYAN Asnawie, sebenarnya anak pantai. Ia lahir 25 September 1948, di desa Sesumpu —  kini masuk wilayah Penajam Paser Utara — yang didepannya terhampar pantai. Anak sulung pasangan Asmawi bin Abdillah dan  Noorsehan binti Haji Anang, sempat  hijrah sebentar ke Banjarmasin  untuk kuliah di Universitas Lambung Mangkurat yang tak pernah diselesaikannya.

Kakeknya dulu kaya raya. Ayahnya pernah menjadi guru  ngaji dan guru bahasa Arab di sekolah semacam madrasah  di Klandasan.

Saat kuliah di  Banjarmasin, ia pernah mengagas tabloid stensilan, Orientasi . Lantas, saat menetap kembali di Balikpapan, ia mantap memilih profesi wartawan sebagai jalan hidup. Tak peduli dengan segala turbulensi ekonomi di kehidupannya, ia tetap konsisten, disiplin dan professional, semisal bangun subuh, sholat , membaca, lalu ketika pagi menjelang sudah berkeliling dengan motor Vespanya memburu berita, termasuk juga pergi ke bandara menjemput koran  Sinar Harapan dan membagikan ke para pelanggannya. Sore hari, ia balik ke rumah, mulai menuliskan liputannya, mengirimkan ke redaksi.

Ia memang hidup, selain dari honor koresponden, juga memasarkan Sinar Harapan di Balikpapan.

Bertahun-tahun.

Waktu Sinar harapan di bredel, ia tetap ikut Panda. Ke Suara Pembaruan, Prioritas, lantas kembali lagi ke Sinar Harapan yang terbit kembali, sampai pensiun.

PWI Pusat tahun 2011 memberinya Press Card Number One, yang sedianya akan diserahkan pada rangkaian acara Hari Pers Nasional di Kupang. Sofyan merasa sangat terhormat. Sejak jauh hari ia sudah mempersiapkan keberangkatannya, bersama isteri ,  Hajjah Ida Satriya. Tapi kesehatannya mendadak drop lagi.  Dokter melarangnya bepergian.

Sofyan harus memendam kecewa.

Ia sedikit terhibur ketika kemudian Pemerintah Kota Balikpapan  memberinya  penghargaan sebagai Pengabdi Masyarakat di bidang Pers.

*

SOFYAN wafat sembilan tahun silam, pada jumat, 12 September 2014, di dalam mobil yang sedang menuju bandara, yang dikemudikan Nanang, salah seorang anaknya. Semula ia dikira sedang tertidur, nyatanya sudah tiada.

Ia memang sudah pergi.  Tapi ia tidak kalah.

Sekali pun era internet datang menyapu banyak lansekap kehidupan, termasuk media cetak, ia tetap seorang petarung. Ia tetap setia dengan  profesinya. Ia pergi tetap dengan kebanggaannya sebagai wartawan.

Jakarta, 25 Februari 2023

Sudarsono Gunawan, wartawan senior di Jakatta

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini