Satumejanews.id. SANGATTA – Tim Pakar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Kutim, dr Meitha Togas, mengatakan, masa 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yang dimulai dari 270 hari di dalam kandungan dan 730 hari sesudah kelahiran sampai usia 2 tahun, dinilai sebagai periode emas yang menentukan kualitas generasi Indonesia di masa depan.
Hal itu diungkapkan saat tampil di podcast Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPKB) Kutim bertajuk bertajuk “Pentingnya 1000 Hari Pertama Kehidupan” di Ruang Multimedia Bangga Kencana DPPKB Kutim.
“Kalau kesempatan emas ini dilewatkan, permasalahan sang anak bisa permanen. Dan tentunya kita tidak dapat mengulangi masa itu lagi,” jelas Meitha kepada awak media.
Dikatakan, masa 1000 HPK merupakan hal yang sangat krusial dan tidak boleh disia-siakan oleh para orang tua, karena pada masa tersebut sistem sensorik anak berkembang sangat pesat.

Ia menekankan, biaya pencegahan jauh lebih ringan dibandingkan pengobatan ketika masalah tersebut sudah dialami. Para orang tua perlu memperhatikan gizi ibu sejak masa kehamilan, memastikan kestabilan mental ibu hamil, serta memberikan ASI eksklusif selama enam bulan.
“ASI bukan hanya nutrisi, tapi juga stimulasi bagi sang anak. Anak dapat mendengar suara ibu, mencium aroma, merasakan sentuhan ibu, semua itu dapat merangsang pertumbuhan otak,” ungkapnya.
Bukan hanya faktor gizi, pola asuh juga sangat berpengaruh besar dalam tumbuh kembang anak. Ia menyoroti banyak anak di Kutim yang mengalami keterlambatan bicara akibat interaksi orangtua atau pengasuh dan anak yang kurang, misalnya karena terlalu sering terpapar gawai.
“Stimulasi dari gadget itu hanya satu arah. Sedangkan anak butuh interaksi timbal balik atau dua arah adalah yang paling baik. Kalau setiap hari hanya mengonsumsi gawai, anak bisa mengalami speech delay,” ujarnya.

Selain itu, ia juga mengingatkan pentingnya peran lingkungan dalam pertumbuhan anak. Anak yang tumbuh di keluarga penuh tekanan dan sering menerima perilaku negatif dari orang tuanya dan anak yang kurang mendapat dukungan dari lingkungan sekitar yang berlangsung lama dapat berisiko mengalami toxic stress.
“Sering saya sampaikan, masalah itu bukan dari sang anak, tetapi orang tuanya. Kalau orang tua stres, marah-marah, perilaku negatif itu akan memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan sang anak,” tegasnya.
Oleh karena itu, edukasi pranikah juga dinilai penting agar calon orang tua lebih matang dalam membangun rumah tangga.
“Kalau orang tua belum siap tapi memaksakan punya anak, dampaknya bisa fatal bagi tumbuh kembang anak. Ini berhubungan langsung dengan cita-cita generasi emas 2045,” pungkasnya. (*)