Beranda Opini Ayo! Bangun Industri Wood Pellet untuk Ekspor ke Jepang

Ayo! Bangun Industri Wood Pellet untuk Ekspor ke Jepang

24938
0

Muhammad Syukri Nur
Bogor, (25/11/2022)

Perjalanan penulis dari Bogor-Osaka-Kyoto-Bali (Penulis menyebutnya Lintasan BOB) telah memberikan kesempatan menyusun ide-ide yang hanya disajikan ke pemirsa satumejanews.id. Tulisan ini mendorong bagi pembaca di tanah air untuk membangun industri pelet kayu (wood pellet industry). Pembangunan industri ini merupakan upaya mendapatkan peluang ekonomi baru bagi Indonesia, apalagi bagi Kalimantan Timur yang pernah berjaya di sektor kehutanan di era 70-an. Urutan penjelasan ringkasannya akan dimulai dari kebutuhan Jepang, kemudian berpijak pada potensi lahan tidur yang terbentang di Kaltim dan perlu dibangunkan, kemudian contoh yang sudah berjalan di Vietnam sebagai indikator penting sekaligus pesaing di industri ini.

Jepang minus Energi
Jepang sebagai negara industri merupakan salah satu negara yang termasuk pengguna energi fosil dan nuklir terbesar di Asia. Singkatnya, Jepang memang minus energi. Kebutuhan energi Negeri Sakura ini telah lama diketahui dipasok dari Timur Tengah untuk energi fosilnya. Jepang telah berkomitmen pada pelestarian lingkungan global melalui “Paris Agreement” maka terjadi program transisi energi dari fosil ke energi terbarukan. Transisi ke energi terbarukan telah dan terus berlangsung di Jepang, dengan mendayagunakan sumber-sumber yang ramah lingkungan dalam jumlah besar untuk tetap mempertahankan aktivitas ekonominya. Boleh jadi negeri Matahari Terbit itu patut menjadi teladan dalam penerapan strategi transisi energi ke energi ramah lingkungan.

Negeri ini telah melakukan ekploitasi besara-besaran pada energi surya, energi angin, dan gelombang laut. Jepang telah berhasil memanfaatkan 63,4 GWe dari energi terbarukan dengan rincian energi surya sebesar 55.5 GWe, dan 3,9 GWe dari energi angin, serta 4 GWe dari energi biomassa. Namun demikian, kebutuhan energi terbarukan terus bertambah dan hanya memungkinkan melalui pasokan biomassa. Alasan yang mendasarinya adalah (1) program “shutdown” pembangkit listrik “dari energi nuklir sebanyak 54 reaktor akibat peristiwa Fukushima; (2) Peralihan bahan baku dari energi fosil (batubara) dan gas alam. Orientasi energi fosil di Jepang hanya untuk mempertahankan kebutuhan dasar listrik (based load) penambahan kebutuhan energi diarahkan ke energi terbarukan.

Perlu anda ketahui, kemampuan satu reaktor nuklir umumnya menghasilkan 500 MWe. Jika saja 54 reaktor itu dinonaktifkan maka pastilah kebutuhan energi Jepang akan bertambah sebanyak 27.000 MWe atau setara 27 GWe. Dapat dibayangkan ledakan kebutuhan Jepang setiap tahun terhadap biomassa jika kebutuhannya satu MWe memerlukan biomassa sebanyak 1.3-2.0 ton/MWe/jam. Sebuah peluang ekonomi nan besar yang tak boleh lepas dari Indonesia.

Perlu Riset Pasar
Berdasarkan pada kebutuhan Jepang yang besar pada bioenergi, Indonesia telah mampu berkontribusi melalui ekspor cangkang sawit. Memang terjadi peningkatan ekspor hingga 2 juta ton pada tahun 2022. Namun demikian, ekspor cangkang sawit akan menurun seiring dengan tuntutan regulasi Pemerintah Jepang yang mengharapkan sistem produksi bioenergi yang lebih akrab lingkungan dan kondisi ini hanya dapat tergantikan dengan wood pellet atau wood chip bahkan black wood pellet atau yang dikenal sebagai wood pellet generasi 2.0.

Perkembangan kebutuhan biomassa dari sisi regulasi, tipe dan kuantitas sebaiknya dapat diantisipasi oleh Indonesia melalui penelitian dan pengembangan industri. Langkah awal adalah melakukan riset pasar di sentra kota-kota di Jepang. Ide riset potensi pasar ini akan dijalankan oleh Asosiasi Pengusaha Cangkang Sawit Indonesia (APCASI) pada tahun depan.

Ketua Umum APCASI, H. Dikki Akhmar, menggagas ide pada Simposium Internasional Biomassa dari Kelapa Sawit di Osaka, Jepang di pertengahan Novermber lalu. Melalui riset pasar, menurut Pengusaha Nasional asal Kaltim ini, Indonesia akan mendapatkan informasi akurat dan pasti terkait dengan kebutuhan biomassa bagi Jepang. “Indonesia akan mendapatkan kepastian tipe biomassa dan calon mitra pembeli atau investor sehingga pengusaha Indonesia bertambah yakin untuk membangun industri berbasis energi terbarukan”, katanya seraya mengakui bahwa kontribusi cangkang sawit telah mencapai 3,6 triliun rupiah pada tahun ini.

Saingan Indonesia: Vietnam dan Kanada?
Negara eksportir wood pelet di tingkat dunia memang masih dikuasai oleh Kanada, USA, Jerman, Ukraina, bahkan telah muncul dari Asia yaitu Vietnam. Namun ekspor mereka akan terfokus untuk kebutuhan energi di dalam negeri. Untuk melakukan ekspor, fokus mereka pada negara-negara di Eropa yang juga menjadi kawasan ekonomi dan penyedot energi dunia. Untuk mencapai Jepang, wood pellet Kanada akan menempuh perjalanan laut sekitar 30-40 hari, sementara jika dari Asia Tenggara hanya 15 hari. Posisi geografis Indonesia lebih dekat ke pasar.
Jadi, saingan utama Indonesia dalam industri wood pellet kayu ini hanyalah Vietnam. Pada tahun 2021, Vietnam ini telah mampu mengekspor sekitar 2.1 juta metrik ton ke Korea Selatan dan 1.5 juta metrik ton ke Jepang. Berdasarkan kajian Perusahaan Konsultan Futuremetrics asal Kanada, kendati pada awalnya industri wood pellet di Vietnam dibangun hanya Korea Selatan, namun tetap menyosor Jepang untuk mendapatkan kepastian pasar.

Jika saja 1.8 juta hektar hutan tanaman industri di Provinsi Kaltim dapat menggunakan paradigma “forest to bioenergy” maka dua manfaat penting yang dapat diraih. Pertama adalah mampu berkontribusi pada program “green energy” pada IKN (Ibukota Baru Nusantara). Kedua adalah Kaltim mampu menggerakkan ekonomi baru diwilayahnya melalui pembangunan industri pelet sekitar 100-150 unit usaha dan berpeluang ekspor minimum 1-5 juta metrik ton wood pellet pada lima tahun pertama. Jika patokan harga jual terendah wood pellet hanya 150US$/ton maka terjadi perputaran uang 150-750 juta USD per tahun. Hitungan ini hanyalah estimasi pesimis penulis. Untuk estimasi optimis, penulis membuka dialog kepada pelaku usaha dan pemegang regulasi. Dengan kata lain industri wood pellet berbasis kehutanan saja, Insya Allah Kaltim akan mampu meraih kembali era keemasannya seperti zaman “banjir kap” dulu. Semoga saja tulisan ini mampu memicu semangat pimpinan dan warga Kaltim untuk menangkap potensi ini. Salam hormat dari penulis dari Bogor.

Muhammad Syukri Nur
Peneliti di APCASI dan Pengajar di Program Pascasarjana Energi Terbarukan, Universitas Darma Persada, Jakarta. Pemilik website: https://syukrimnur.academia.edu/

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini