
Satumejanews. SANGATTA – Tak selesai menyesap rokok di pelataran gedung DPRD Kabupaten Kutai Timur, pria bertubuh agak gemuk itu bergegas melenyapkan puntungnya lalu menenteng setumpuk buku dengan tangan kirinya. Sambil berlari kecil sejauh 20an meter lebih dan menaiki satu persatu anak tangga kantor perwakilan rakyat itu, Faizal Rachman menghampiri seorang birokrat di sebuah ruangan lalu berbincang selama berjam-jam.
Perbincangan Faizal, begitu sapaan pendeknya, tak jauh-jauh dari persoalan rakyat. Selain karena sudah menjadi tugasnya sebagai seorang legislator, dia sebetulnya telah melakoni peran demikian selama belasan tahun atau sebelum dapat mandat dari rakyat menjadi anggota DPRD.
Usai menamatkan pendidikan di SMAN 01 Bandung tahun 1999, dia bersama keluarganya memutuskan hijrah ke Kabupaten Kutai Timur pada tahun 2001. Meski sempat ke Bogor sesudah setahun mendiami tanah Borneo, dia kembali lagi atas panggilan ayahnya, H Suardi. Memulai milenium ketiga di Sangatta, Kutai Timur, dia lewati dengan belajar di Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIPER).
Mula-mula pria kelahiran Pelabuhan Ratu, 19 Mei 1981, itu mengaku perlu beradaptasi selama menjadi mahasiswa STIPER, karena bertahun-tahun sebelum memutuskan kuliah dia banyak menimba ilmu dan pengalaman dalam berdagang dari ayahnya. Sehingga kerabat seusia pun mengenalnya mahir mengurusi perniagaan ketika itu, meski demikian dia mesti menanggalkan bakat tersebut sementara waktu.
“Kita angkatan pertama jadi yang terlibat mendirikan Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM),” ungkapnya sambil membenarkan kancing kemeja putih yang dikenakan.
Seraya menimba ilmu dia sekali waktu nyambi bekerja sebagai sopir truk yang mengangkut material. Meski tak seberapa hasilnya namun pekerjaan tersebut tetap dilakukan hingga akhirnya dia putuskan untuk berhenti. Karena telah dapat mandat untuk menduduki BPM sebagai wakil ketua.
“Malu juga kalau ketemu teman-teman mahasiswa saat lagi ngantar material,” guraunya sambil tersenyum mengenang masa-masa dia menjadi sopir.
Peran awalnya yakni memastikan seluruh persiapan pemilihan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), kendatipun demikian dia bersama Edi Endang, kawan seangkatan di STIPER. Pun turut maju sebagai kandidat, langkah itu dia permantap dengan ancang-ancang menjelang pemungutan suara. Keputusan tersebut sebenarnya bukan hal baru bagi dia karena pengalaman berorganisasi sudah dimiliki sejak masih pelajar, persisnya ketika terpilih menjadi Ketua Osis 2 di SMPN 01 Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Berkat jejaringnya di program studi (prodi) teknik pertanian dan Endang pada prodi agroteknologi, mereka meraih suara terbanyak sampai terpilih sebagai pimpinan BEM angkatan pertama. Tahun demi tahun pengorganisasian di kampus meluaskan sudut pandangnya hingga dia mengenal organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Sejak 2003 berkiprah di HMI, dia semakin mendalami ihwal kepemimpinan, manajemen, dan organisasi. Dari pengkaderan “hijau hitam” itu pula, dia belajar memecahkan masalah berikut membuahkan langkah pencegahan agar tak terjadi lagi di masa mendatang. Apapun masalah tersebut. Meski baru setahun lebih ditempa organisasi HMI, dia meyakini metode belajar learning by doing bisa mewujudkan tujuannya.
Tahun 2004 dia memutuskan terjun ke dunia politik, membantu ayahnya yang saat itu jadi legislator sekaligus Ketua Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) Kabupaten Kutai Timur. Nyaris 10 tahun atau selama dua periode ayahnya di PDK dan DPRD, dia menekuni banyak hal mulai dari mempelajari administrasi partai, memperkuat jaringan sosial hingga bagaimana sepatutnya merumuskan serta merespons kebijakan publik.
“Dari situ saya banyak belajar,” akunya.
Walau masih semester tiga, dia telah mampu menganalisis siklus pembangunan pemerintah dari tahap perencanaan tingkat desa sampai kabupaten kemudian ratifikasi, implementasi, pertanggungjawaban hingga evaluasi. Jauh sebelum bisa melakukan hal demikian dalam bayangannya justru menilai politik sebagai dunia yang cenderung landai. Karena seberat-beratnya amanah perwakilan rakyat paling banter menyelesaikan suatu masalah cukup dengan rapat. Namun ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Mendekati akhir tahun 2012, dia mendengar kabar H Suardi pingsan di ruang kerjanya, Kantor DPRD Kutai Timur, lalu dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah Sangatta namun nahas tak lama berselang ayahnya mangkat karena serangan jantung. Beberapa bulan setelahnya, PDK dinyatakan tidak lolos verifikasi administrasi oleh KPU, dia pun pindah ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Hari demi hari berlalu, sesudah tujuh tahun kepergian sosok yang mengilhaminya itu dan berbekal pengalaman 15 tahun berorganisasi dia melahirkan keputusan terbesar dalam hidupnya yakni mengikuti pemilihan legislatif pada tahun 2019 lewat PDIP. Usai berhasil meraup ribuan suara dia terpilih jadi legislator. Berkat segudang bekalnya, dia menjalin hubungan lebih luas dengan warga di Kecamatan Kaubun, Sangkulirang, Kaliorang, Karangan, dan Sandaran.
Menurutnya jalinan yang terbangun dan semakin erat pada periode awal dia sebagai anggota DPRD Kutai Timur tidak tumbuh alamiah, melainkan muncul melalui ikhtiar yang tulus dalam membantu kesulitan warga. Alih-alih semua masalah berjalan mulus saat dia turun tangan mengurusnya, tak jarang dia malah menghadapi situasi yang muskil. Entah ketika menjembatani urusan administrasi kependudukan, kesehatan, masalah tenaga kerja sampai pelanggaran lingkungan hidup.
“Politik ini ‘kan harus diisi oleh orang-orang yang punya niat dan tindakan sungguh-sungguh untuk memihak ke warga,” ujar Faizal.
Sepanjang perjalanannya mengarungi dunia politik, dia jadi tahu bagaimana memosisikan dirinya sebagai perwakilan warga. Cukup dengan gampang dihubungi warga saat dibutuhkan, misalnya. Makanya dia tak menutup diri supaya siapa saja sudi membagi-bagikan masalah yang sedang dihadapi. Sebab keberpihakan terhadap warga tak ‘kan bisa dihargai oleh apapun, katanya. Seperti saat dirinya mengupayakan pemenuhan hak 779 PPPK guru se Kutai Timur yang hanya menerima Rp 2 juta atas imbalan jasa berupa TPP pada bulan Februari 2023. Melalui dorongannya dan desakan multipihak, ratusan guru akhirnya menerima kenaikan TPP menjadi Rp 4 juta pada pertengahan tahun 2023. Atas dasar itu dia berkali-kali menyatakan siap membaktikan hidupnya sebagai ‘jembatan’ penghubung yang mengurus tiap persoalan. (*/adv/sm3)